Selasa, 19 Februari 2008

Selasa, 07 Juni 2005 - 04:20 AM

Papua, SENANG rasanya melihat belasan lumba-lumba berenang mengawal speed boat yang membawa tim ekspedisi Media Indonesia-Metro TV berkeliling pulau-pulau di Raja Ampat.

Sudah hampir 10 hari tim berada di Kepulauan Raja Ampat, namun baru saat ini kami berada sangat dekat dengan ikan yang menjadi sahabat manusia.

Sebelumnya, beberapa kali lumba-lumba sempat berenang di dekat perahu kami. Namun, tidak begitu dekat untuk diambil gambarnya.

Pada saat terakhir kami berada di Kepulauan Raja Ampat, mereka muncul seakan mengucapkan selamat jalan.

Dengan kecepatan tinggi, makhluk mamalia yang hidup di laut itu berenang mendahului speed boat. Terkadang mereka melompat di atas permukaan air, seakan memamerkan kekuatan ototnya.

Tidak hanya lumba-lumba, seekor paus bungkuk pun muncul memperlihatkan tubuh besarnya. Semburan air dari lubang di dekat kepalanya mencapai tiga meter tingginya. Panjang tubuhnya mencapai 5 meter.

Berbeda dengan lumba-lumba, paus ini terkesan pemalu. Ketika kami dekati, ia langsung menyelam di kedalaman laut. Perairan Indonesia memiliki banyak sekali jenis cetacean (nama kolektif untuk semua jenis paus dan lumba-lumba). Lebih dari 30 jenis cetacean tercatat sebagai penghuni perairan ini. Asal tahu saja, lebih dari sepertiga jenis paus dan lumba-lumba yang saat ini diketahui manusia dapat ditemukan di perairan Indonesia. Termasuk di antaranya, beberapa spesies langka dan terancam punah seperti paus biru (Balaenoptera musculus.

Lumba-lumba dipercaya sebagai makhluk laut paling cerdas, ramah, dan suka menolong. Dengan melewati pelatihan, mereka dapat memahami perintah dengan baik dan tahu cara mematuhinya. Banyak tempat rekreasi, seperti Taman Impian Jaya Ancol, menggunakan kemahiran dan kecerdasan lumba-lumba untuk menarik pengunjung.

Cetacean merupakan mamalia laut yang mengagumkan serta menghuni sungai-sungai besar Indonesia, mangrove (hutan bakau), dan lingkungan laut lepas seperti gunung-gunung laut dan palung-palung laut dalam. Habitat-habitat ini sering berdekatan satu sama lain karena paparan pulau-pulau Indonesia yang sempit dengan banyak pulau oseanik dan gradien kedalaman yang ekstrem.

Laut di Kepulauan Raja Ampat dilalui oleh pertukaran arus laut antara Samudra Hindia dan Pasifik. Setiap tahun, cetacean bermigrasi dari daerah tropis Pasifik menuju Samudra Hindia melalui perairan Indonesia, demikian pula sebaliknya.

Menurut penduduk sekitar, serombongan paus biasanya melintasi laut di Raja Ampat pada bulan Juni dan Desember. Mereka berenang mencari air laut yang hangat.

Dalam perjalanannya kebanyakan mereka harus melalui selat-selat antarpulau yang sempit dan dalam. Di sinilah cetacean sangat rentan terhadap kegiatan manusia, baik skala regional maupun lokal, yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap habitat, perilaku, dan populasi mereka.

Memang tidak ada kegiatan penangkapan paus komersial di perairan Indonesia, namun populasi cetacean sangat terancam karena banyak yang tertangkap oleh jaring nelayan tanpa sengaja. Tidak jarang, ikan-ikan bertubuh besar ini juga terjepit karang di dekat pantai.

Lumba-lumba maupun paus sebenarnya menghabiskan sebagian besar waktunya di kedalaman lautan. Mereka hanya muncul di permukaan untuk mengambil napas melalui lubang di atas kepalanya.

Tepat di bawah lubang ini, terdapat kantong-kantong kecil berisi udara. Dengan mengalirkan udara melalui kantong-kantong ini, mereka menghasilkan suara bernada tinggi.

Kantong udara ini berperan sebagai cermin akustik yang memfokuskan suara yang dihasilkan gumpalan kecil jaringan lemak yang berada tepat di bawah lubang pernapasan.

Selain bernapas, suara dari kantong-kantong itu dipergunakan oleh cetacean untuk mengetahui suasana sekitarnya. Pasalnya, penglihatan lumba-lumba tidak begitu baik. Dengan pantulan suara -- para ilmuwan menyebutnya ekolasi -- cetacean dapat mengetahui situasi di sekitarnya walaupun dalam keadaan gelap.

Suara ekolasi yang dikeluarkan akan dipancarkan secara terputus-putus. Suara itu akan memantul kembali dan ditangkap di bagian rahang bawahnya. Dari situ, informasi yang mereka dapatkan diteruskan ke telinga bagian tengah dan ke otaknya.

Berkat perangkat ini, lumba-lumba dapat memindai wilayah yang luas, bahkan memetakan samudra. Inilah sistem sonar sempurna yang dengannya lumba-lumba memindai dasar laut layaknya alat pemindai elektronik. Sistem ini ditiru manusia menjadi teknologi untuk kapal selam modern untuk menentukan arah dengan sinyal sonar.

Selain untuk mengetahui situasi sekitarnya, sistem sonar frekuensi tinggi ini juga digunakan lumba-lumba untuk mencari makan. Lumba-lumba menggunakan sonar untuk membubarkan kumpulan ikan sehingga mudah menangkapnya.

Selain itu, menurut penelitian para ahli hewan, suara sonar itu digunakan untuk komunikasi sesama lumba-lumba. Mereka mampu saling berkirim pesan meski terpisahkan oleh jarak lebih dari 220 km. Lumba-lumba paling sering berkomunikasi secara menakjubkan untuk menemukan pasangan dan saling mengingatkan akan bahaya.

Lumba-lumba juga mampu berenang dengan kecepatan tinggi. Kulit dan tubuhnya mampu mengimbangi gaya hambat air. Saat lumba-lumba mulai berenang cepat, lapisan tipis air terbentuk di permukaan kulit mereka. Lapisan tipis air ini dinamakan "lapisan penghalang". Kulit ini diciptakan dengan kelenturan yang memungkinkannya bergerak menggelombang ketika turbulensi terjadi. Kulit ini mencegah terjadinya gaya hambat air dengan bergerak menggelombang berlawanan arah dengan gerak turbulensi pada "lapisan penghalang". Hasilnya, gerakan renang yang cepat tanpa menimbulkan suara.

Setelah empat tahun penelitian, para insinyur Jerman yang menemukan desain kulit lumba-lumba, menirunya dan berhasil membuat lapisan luar kapal selam dengan sifat yang sama. Kapal selam yang dirancang menggunakan lapisan ini berhasil menaikkan kecepatannya hingga 250%. (Aries Wijaksena/S-4)

Tidak ada komentar: